Live 24 Jam.

Catatan #26: Ketika Manusia dan Mesin Bermitra



Dalam waktu dekat, dunia akan sampai pada revolusi industri 5.0. Pada masa itu, kehidupan manusia akan ditandai oleh hal-hal yang sama sekali belum pernah terjadi pada dekade sebelumnya, adanya koneksi atau kemitraan antara manusia dengan kecerdasan buatan.

Dalam prediksi Yuval Noah Harari, manusia sebagai pembuat kecerdasan buatan benar-benar telah memasukkan unsur biometrik ke dalam mesin canggih. Akibatnya, mesin yang selama ini hanya dikendalikan oleh manusia dapat merasakan dan berbuat berdasarkan rangsangan dan “rasa” yang mereka alami sendiri.

Di satu sisi, hal ini mungkin menjadi kabar baik bagi kemajuan manusia. Namun, dalam tataran etika, masih muncul perdebatan, layakkah mesin memiliki rasa dan kehendak sendiri? Apakah dengan demikian, mesin bisa menjadi seteru bagi tuannya, seperti kisah Frankenstein yang akhirnya membunuh penciptanya? Pertanyaan ini bahkan menyerupai dilema dalam konsep penciptaan manusia itu sendiri , mungkinkah suatu saat mesin akan menentang penciptanya, sebagaimana manusia yang menentang Tuhannya?

Kendati demikian, revolusi di bidang industri tidak akan pernah dapat dibendung. Banyak di antara kita memilih untuk menerimanya dengan bijak, yakni memanfaatkan teknologi selama ia memberi manfaat dan berdampak baik bagi manusia.

Sebetulnya, para pencetus revolusi industri tentu tidak bermaksud menjadikan teknologi sebagai alat untuk menopang ketidakbaikan. Munculnya dampak buruk biasanya karena adanya penyimpangan pemanfaatan. Misalnya, kecerdasan buatan yang seharusnya membantu pekerjaan manusia justru dijadikan “budak sahaya” yang terus diperintah, sehingga menumpulkan kecerdasan manusia dan memperbesar kebodohan alaminya.

Dampak negatif ini sulit dibendung karena kehadiran teknologi yang dimaksudkan untuk meringankan beban kerja manusia justru mendapat sambutan hangat dari sikap malas manusia itu sendiri. Ketika manusia enggan berpikir dan menggunakan kecerdasannya, maka teknologi yang seharusnya menjadi alat bantu justru berubah menjadi pengganti fungsi kemanusiaan itu sendiri.

Jika kita menengok ke masa lalu, khususnya ke tahun 1990-an, masa itu bisa disebut sebagai era keemasan umat manusia sekaligus masa transisi dari revolusi industri 3.0 menuju 4.0, dari era semi-milenial ke milenial sempurna.

Saat itu manusia mulai dikenalkan dengan berbagai piranti hasil kemajuan teknologi. Saya sendiri yang kala itu baru beranjak remaja sudah memiliki imajinasi tentang masa depan seperti yang digambarkan Alvin Toffler, bahwa umat manusia akan segera menemukan teknologi mutakhir yang sebelumnya hanya ada dalam imajinasi, seperti layar sentuh.

Sekitar penghujung tahun 1997 (Kelas III/SMANSA), saya bahkan sempat menulis sebuah cerita bersambung tentang kehidupan di masa depan, tepatnya di tahun 3000. Dalam kisah itu, saya menggambarkan sebuah sekolah menengah atas (SMA) dengan bangunan hampir lima belas lantai dan dilengkapi laboratorium canggih.

Lucunya, tanpa saya sadari, karakter para tokohnya menyerupai generasi Z dan Alpha. Mereka memiliki teknologi yang kini benar-benar ada, pemutar musik digital bertenaga listrik dari pengolahan oksigen, layar sentuh, earphone nirkabel, bahkan chip kecil di kepala yang terkoneksi dengan server raksasa. Imajinasi itu muncul bukan tanpa dasar, melainkan hasil sintesis dari berbagai buku yang saya baca saat itu.

Pada masa itu, internet memang sudah ada, tetapi belum sampai pada paradigma Internet of Things. Penggunaannya terbatas di negara-negara maju, dunia industri, dan kampus-kampus besar. Tanpa disadari, saya saat itu gemar membaca buku-buku tentang masa depan, seperti karya Alvin dan Heidi Toffler.

Pada awal tahun 2000 saya membaca buku Menjemput Masa Depan karya Dimitri Mahayana. Sebagai lulusan teknik elektro ITB, Dimitri menulis kisah semi-fiktif tentang masa depan umat manusia, seperti mobil cerdas yang dapat mengantar pemiliknya ke mana pun tanpa perlu disetir secara manual. Cukup dengan perintah suara, mobil akan melaju sesuai tujuan, misalnya: “Antarkan saya ke Balkids City.”

Dalam tulisan saya tentang masa depan, saya pun menyematkan berbagai istilah internasional untuk nama makanan dan perangkat teknologi. Tokoh-tokohnya saya beri nama Johannes Iyonk, Michael Gepeng, dan sebagainya. Bagi remaja 90-an yang mulai akrab dengan budaya global, nama-nama berbau internasional terasa wajar. Mereka mulai menyukai lagu-lagu barat, membeli kaset lagu barat, dan berbicara dengan campuran bahasa Inggris.

Dalam pandangan sebagian kalangan revivalis, fenomena itu dianggap sebagai bentuk westernisasi yang mengancam budaya timur. Namun bagi saya, itu adalah bagian dari arus globalisasi yang tak terbendung. Untungnya, generasi 90-an masih berada di “kuadran II”, mereka tetap bersentuhan dengan tradisi meskipun perlahan beradaptasi dengan budaya global.

Dalam pusaran perubahan itu, manusia sesungguhnya sedang diuji, sejauh mana ia mampu menempatkan dirinya di antara tradisi dan modernitas. Arus globalisasi membawa kemudahan dan kemajuan, namun di saat yang sama juga mengikis batas-batas nilai dan identitas.

Generasi 90-an menjadi saksi hidup bagaimana budaya lokal dan global saling berinteraksi, kadang beradu, namun juga saling memperkaya. Dari sanalah muncul kesadaran baru bahwa kemajuan teknologi tidak boleh menghapus jati diri, melainkan harus menjadi sarana untuk memperkuatnya.

Kita memang diciptakan sebagai makhluk cerdas, oleh Tuhan Yang Maha Cerdas, dan dengan cara yang cerdas pula. Maka, mau tidak mau, kita pun harus bersikap cerdas, kecerdasan yang memancar dari dalam diri, bukan kecerdasan yang tunduk pada mesin atau ciptaan manusia lainnya. Miliaran sel di dalam otak merupakan potensi besar yang harus dimaksimalkan.

Jika pun belum mampu sampai ke arah itu, maka berdamailah dengan era revolusi industri yang kini menuju babak kelima. Dunia akan benar-benar menjadi lahan interaktif antara manusia dan mesin, dan pada titik itu, yang paling menentukan bukan lagi seberapa canggih mesin yang diciptakan, melainkan seberapa manusiawi orang yang mengendalikannya.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Catatan #26: Ketika Manusia dan Mesin Bermitra"