Live 24 Jam.

Catatan #27: Classmeeting



Setelah ulangan sumatif semester pertama selesai, sekolah-sekolah, yang biasanya digerakkan oleh OSIS, menggelar perhelatan olahraga antarkelas bertajuk classmeeting. Secara leksikal, kegiatan ini berarti pertemuan kelas, namun dalam praktiknya telah menjadi tradisi kompetisi olahraga yang dinanti.

Rata-rata, di SMP dan SMA era 90-an, cabang olahraga yang dipertandingkan hanya berkisar pada bola basket dan voli. Olahraga lain, terutama yang membutuhkan lapangan luas, jarang digelar. Keterbatasan fasilitas olahraga di sekolah-sekolah saat itu menjadi penyebab utamanya.

Sebagai contoh, SMA Negeri 1 yang tergolong memiliki fasilitas cukup lengkap pada masanya, belum memiliki lapang bulu tangkis yang representatif, apalagi lapangan sepak bola standar. Karena sepak bola sangat populer, para siswa yang ingin bermain bola harus pergi ke lapangan luar sekolah.

Futsal sebenarnya sudah diperkenalkan sejak 1930, tetapi baru populer di Indonesia pada tahun 2000-an. Kendati demikian, demi hasrat bermain bola, siswa-siswa SMANSA sering memanfaatkan lahan kosong di belakang sekolah atau bermain diam-diam di lapang basket, meski dengan perasaan was-was karena dianggap “melanggar” aturan penggunaan lapangan.

Karena tidak semua cabang olahraga dipertandingkan dalam classmeeting, siswa yang tidak terbiasa bermain basket atau voli terpaksa ikut ambil bagian sebagai atlet dadakan. Demi gengsi kelas, mereka tetap tampil. Sejak era prasejarah, manusia tampaknya memang tak pernah lepas dari kebutuhan untuk menunjukkan keunggulan. Selain itu, menjadi anggota tim basket atau voli memberi kesempatan untuk unjuk kemampuan di depan “pujaan hati”.

Dapat dibayangkan, siswa yang hanya mengenal teknik dasar basket atau voli dari buku pelajaran harus berhadapan dengan lawan yang merupakan pemain inti sekolah. Hasilnya sudah bisa ditebak, dan tidak jarang mereka menjadi bahan tawa penonton.

Namun tidak mengapa. Tujuan olahraga tidak semata-mata meraih kemenangan, tetapi juga memberikan hiburan. Itulah sebabnya setiap bulan Agustus warga negeri ini memarodikan aneka olahraga dengan kostum jenaka. Lagi pula, tak penting menang atau kalah; ini hanya classmeeting, bukan olimpiade.

Dengan kondisi seperti itu, juara classmeeting mudah ditebak yakni kelas yang memiliki atlet sesuai cabang olahraga yang dipertandingkan. Jika terus dibiarkan, pola ini menumbuhkan stigma dominasi. Karena itu, sekolah melalui OSIS perlu merancang cabang-cabang lain seperti tenis meja, bulutangkis, catur, hingga atletik. Selain lebih merata, kegiatan ini bisa menjadi ajang pencarian bakat di berbagai bidang.

Barangkali pikiran saya terlalu muluk, membayangkan classmeeting sebagai arena penjaringan atlet berbakat. Walakin, setidaknya ada harapan agar sekolah di mana pun dapat merancang kegiatan akhir semester yang bukan hanya selingan, tetapi juga sarana menemukan “mutiara tersembunyi” berupa minat dan bakat terbaik para siswa.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Catatan #27: Classmeeting"