Live Pukul 08.00 - 24.00 WIB.

Catatan #25: Ingat Ini PKL...



Salah satu kenangan, bahkan mungkin yang paling berkesan, selama masa SMA adalah kegiatan PKL (Praktik Kerja Lapangan) yang digagas oleh pihak sekolah melalui bidang kurikulum.

Kegiatan ini sejatinya mengadopsi konsep Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari perguruan tinggi, sebagai bentuk latihan awal dari amanat Tridharma Perguruan Tinggi, pengabdian kepada masyarakat.

Bedanya, kegiatan ini dilakukan oleh siswa SMA. Para siswa pergi ke berbagai lokasi sebagai tempat penelitian, kelas IPA ke Ujung Genteng dan kelas IPS ke kampung-kampung adat di sekitar Sukabumi.

Saat itu, pelaksanaan PKL bertepatan dengan masa krisis moneter 1997–1998. Situasi nasional sedang bergejolak; unjuk rasa mahasiswa berlangsung di berbagai kota besar, harga-harga naik, stabilitas nasional terganggu, dan kepercayaan terhadap Orde Baru mulai runtuh. Dampaknya terasa hingga ke sekolah-sekolah.

Setiap siswa diwajibkan membayar Rp70.000 untuk mengikuti PKL. Nominal itu mungkin tampak biasa, tapi bagi siswa dari keluarga menengah ke bawah, jumlah tersebut di masa resesi terasa sangat memberatkan.

Karena PKL ini meniru pola KKN mahasiswa, siswa laki-laki kelas III kala itu pun ikut meniru semangat mahasiswa yang sedang turun ke jalan. Mereka melakukan aksi protes terhadap kebijakan sekolah yang menetapkan biaya PKL secara sepihak, tanpa musyawarah dengan orang tua siswa. Aksi ini muncul bukan karena kenakalan, melainkan bentuk dari kegelisahan sosial di masa transisi politik.

Para siswa duduk di halaman kantor guru, membawa tulisan protes sederhana, menuntut keadilan. Namun pihak sekolah tetap pada pendiriannya, biaya PKL adalah harga mati. Siapa yang mau ikut silakan membayar, yang tidak bisa ikut boleh melakukan penelitian mandiri, meskipun di balik kalimat itu para siswa membaca makna tersirat, “Kalau tidak ikut PKL, nilai kalian bisa terpengaruh.”

Saya memilih bentuk protes yang berbeda. Alih-alih berorasi, saya membuat gambar satire berisi kritik sosial kepada pihak sekolah. Gambar itu kemudian saya fotokopi dan tempel di majalah dinding sekolah. Beberapa teman meminta salinannya dan menempelkannya di dinding-dinding kelas lain.

Tak lama kemudian, gambar tersebut menjadi perhatian para guru. Buntutnya, saya dipanggil oleh Alm. Pak Tjoetjoe Suherman, Wakasek Urusan Siswa, untuk berbincang. Di ruangannya, sempat terjadi semacam tawar-menawar, antara idealisme siswa dan kewibawaan institusi pendidikan.

Gambar karikatur spontan itu kemudian saya beri penafsiran satu per satu. Karya visual itu bergaya doodle kartunal dengan nuansa satir dan dokumentatif, menggambarkan suasana kegiatan PKL Sosial SMA Negeri 1 Sukabumi.

Meskipun tampak sederhana, gambar ini menyimpan kritik sosial yang tajam, penuh humor, dan menjadi potret kehidupan sekolah serta masyarakat dalam satu bingkai visual yang padat.

Di bagian atas gambar, tertulis “SMU Negeri 1 Sukabumi.” Tulisan besar ini menegaskan identitas lembaga pendidikan yang menjadi latar peristiwa.

Di bawahnya, saya menggambar bus besar dan beberapa mobil minibus yang penuh sesak dengan siswa. Di badan bus tertulis “PKL Sosial” dan “PKL”.

Kendaraan-kendaraan itu melaju rapat, menggambarkan keramaian yang semrawut, penuh semangat namun tidak terorganisir, sindiran halus terhadap budaya kegiatan sekolah yang seringkali ramai tapi minim perencanaan.

Setiap sudut gambar diisi oleh figur-figur kecil seperti siswa, guru, penjual, dan masyarakat umum. Ekspresinya beragam; ada yang berteriak, mengangkat tangan, bercanda, panik, bahkan acuh tak acuh. Keriuhan ini mencerminkan kekacauan yang lucu dan manusiawi di antara semangat gotong royong khas pelajar SMA.

Beberapa teks saya tulis seperti kalimat “Tenang.. Tenang...!” menggambarkan kepanikan menjelang keberangkatan. Sementara kalimat besar di bagian bawah, “Ingat ini PKL, jangan dijadikan bisnis... ya?”, sebuah sindiran lembut bahwa kegiatan sosial pendidikan seharusnya murni untuk pengabdian, bukan dijadikan ajang komersialisasi.

Kata “Akuuurr!” yang saya tulis di sisi lain gambar menjadi semacam parodi dari semangat kebersamaan yang dipaksakan. Seruan ini seolah ingin menyatukan perbedaan pandangan, tapi begitu ironis di tengah kalimat “jangan dijadikan bisnis.”

Di sisi kanan gambar, tampak dua orang seperti berdagang dengan tulisan kecil “Ssstt”, salah satunya membawa barang. Adegan ini menggambarkan kehidupan sosial ekonomi kecil yang selalu berdampingan dengan aktivitas sekolah dan menegaskan bahwa dalam ruang publik seperti ini, batas antara kegiatan sosial dan kegiatan ekonomi sering kali kabur.

Saya juga menggambar sosok-sosok pelajar dengan tas, koper, dan peralatan seadanya. Mereka tampak gembira, santai, atau acuh tak acuh, campuran antara idealisme muda dan kekonyolan khas remaja.

Di kiri bawah, saya menggambar simbol uang “$” dan tulisan kecil “Rp vs $”, sindiran tentang ketimpangan ekonomi, sekaligus humor terhadap perbedaan kelas sosial. Lewat detail kecil itu, saya ingin mengatakan bahwa bahkan kegiatan sosial pun tidak sepenuhnya bebas dari persoalan uang dan ketimpangan.

Melalui gambar ini, saya ingin menegaskan pesan bahwa PKL seharusnya menjadi ruang pengabdian dan pembelajaran sosial, bukan ajang bisnis atau kepentingan pribadi. Walakin di sisi lain, gambar ini juga menyoroti semangat gotong royong, solidaritas, dan kejujuran siswa, semrawut, tapi tulus.

Kini, ketika gambar itu saya hadirkan kembali di masa kini, setelah berusia hampir 27 tahun, saya menyadari kritik yang saya buat dulu bukan bentuk perlawanan, tapi cara seorang remaja mencari makna pendidikan yang manusiawi. Bahwa semangat pengabdian seringkali bersinggungan dengan kepentingan pragmatis, namun di antara garis dan coretan, selalu terselip niat tulus untuk belajar tentang kehidupan.

Melalui humor, kejujuran, dan kepadatan visualnya, gambar ini menjadi arsip kecil kehidupan pelajar SMANSA Angkatan 1998, tempat di mana idealisme muda, realitas sosial, dan nilai-nilai moral bertemu dalam satu coretan sederhana.

Kini, mungkin saatnya bagi kami, yang pernah menjadi bagian dari masa itu, untuk tersenyum dan mengucap pelan; maaf dan terima kasih kepada sekolah dan para guru. Sebab dari situlah, kami belajar bahwa kritik dan cinta bisa tumbuh dari tempat yang sama.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Catatan #25: Ingat Ini PKL..."