Live Pukul 08.00 - 24.00 WIB.

Catatan #24: Dari Musik Alternatif sampai Nasyid



Alumni SMANSA 1998 merupakan bagian dari generasi yang tumbuh dan menyaksikan langsung dinamika musik di era 1990-an. Masa itu adalah periode di mana anak-anak muda berada dalam pergulatan identitas, menyalurkan keresahan, dan menemukan ruang ekspresi melalui musik.

Saya sendiri, saat duduk di bangku SMA, sudah mulai menggemari musik klasik seperti Beethoven, Bach, Mozart, dan komponis lainnya. Ketertarikan pada musik klasik lahir setelah saya diperkenalkan dengan sejarah seni musik ketika duduk di bangku SMP kelas 1 dan 2. Sejak saat itu, saya penasaran bukan hanya pada nada-nadanya, tetapi juga kisah hidup para komponis besar tersebut.

Walakin perlu diketahui, di tahun 90-an mulai bermunculan musik-musik independen dengan format Do It Yourself. Gerakan ini menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi musik komersial yang dianggap terlalu mengejar pasar. Band-band alternatif lahir dengan semangat kebebasan, menolak dikendalikan oleh industri besar.

Namun, kenyataannya, industri musik yang sedang berada pada masa keemasan di era itu tetap mampu mengkooptasi musik indie, menjadikan sebagian band alternatif akhirnya ikut masuk ke pusaran komersialisasi.

Meskipun begitu, musik alternatif tetap menjadi daya tarik besar bagi generasi muda. Kaset komersial yang berisi lagu-lagu alternatif dijual dengan harga yang terus mengalami kenaikan dari Rp2.500 sampai Rp15.000. Harga itu relatif mahal bagi sebagian remaja, sehingga muncullah budaya menyalin lagu.

Banyak yang membeli kaset kosong untuk merekam lagu dari kaset asli, atau membeli kaset bajakan yang dijual sembunyi-sembunyi. Fenomena ini seolah menggambarkan kreativitas sekaligus keterbatasan ekonomi remaja 90-an.

Namun, di luar arus utama tersebut, ada juga band-band yang bergerilya di jalur bawah tanah dengan musik cadas. Mereka memainkan aliran underground yang bahkan mengusung tema-tema gelap, termasuk simbol-simbol satanik, baik secara tekstual maupun alegoris.

Musik jenis ini pun memiliki penggemarnya sendiri, walaupun sering dianggap ekstrem oleh kalangan umum. Bagi sebagian anak muda, justru musik seperti inilah yang dianggap paling jujur dalam melawan arus dominasi budaya.

Di Amerika dan Eropa, grunge muncul sebagai wajah baru dari musik alternatif. Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden, dan Alice in Chains menjadi ikon yang menghadirkan semangat pemberontakan anak muda.

Distorsi gitar yang kasar, lirik murung dan penuh keresahan, serta penampilan panggung yang sederhana tanpa glamor menjadi ciri khasnya. Bagi generasi muda yang resah, grunge adalah bahasa yang dapat mereka pahami; jujur, keras, dan apa adanya.

Di Indonesia, semangat grunge dan alternatif masuk ke ruang-ruang anak muda dengan cepat. Band-band kampus dan komunitas indie mulai tumbuh, menyuarakan keresahan sosial maupun ekspresi personal.

Prinsip Do It Yourself menjadi pegangan, bahwa musik bisa diciptakan tanpa harus tunduk pada aturan industri besar. Generasi muda menemukan ruang untuk berkarya, dan pada saat yang sama, mereka menemukan identitas baru sebagai bagian dari arus global yang melawan kepalsuan.

Namun, di sisi lain, era 1990-an juga menghadirkan fenomena yang sangat berbeda yaitu kebangkitan musik Islami. Nasyid menjadi salah satu genre yang populer di kalangan remaja muslim perkotaan.

Musik ini hadir sebagai respon terhadap kebutuhan rohani di tengah derasnya arus hiburan sekuler. Dengan iringan sederhana, bahkan sering kali tampil dalam bingkai acapella, nasyid menyampaikan pesan moral dan spiritual yang kuat.

Nasyid tidak hanya lahir di ruang dakwah formal, melainkan juga menjadi bagian dari aktivitas pelajar dan mahasiswa. Kelompok-kelompok nasyid tumbuh subur, menjadikan musik sebagai sarana syiar yang akrab dengan dunia remaja. Pesan-pesan kebaikan, ukhuwah, dan penguatan iman tersampaikan dengan cara yang lebih lembut, tanpa harus kehilangan daya tarik musikalitasnya.

Bagi sebagian anak muda, nasyid adalah pelarian dari hiruk-pikuk musik modern. Mereka menemukan ketenangan sekaligus identitas keislaman di dalamnya. Dengan demikian, generasi muda 90-an seolah memiliki dua arus besar yang mewarnai hidup mereka, musik alternatif yang penuh keresahan sosial dan musik nasyid yang sarat nilai spiritual.

Dekade 90-an pada akhirnya menjadi titik persimpangan. Anak muda dapat memilih untuk mengekspresikan kegelisahan melalui musik cadas dan alternatif, atau justru menguatkan pencarian spiritual melalui nasyid. Dua-duanya sama-sama lahir dari kebutuhan akan kejujuran, yang satu jujur terhadap realitas sosial, yang lain jujur terhadap panggilan hati dan iman.

Fenomena ini juga nyata dirasakan di SMANSA angkatan 98. Anak-anak muda di sana memiliki selera musik yang sangat beragam. Ada yang menggemari dangdut dengan irama melayunya, ada pula yang larut dalam alunan jazz yang dingin. Di sisi lain, grunge dan alternatif menjadi simbol keren bagi sebagian besar remaja, sementara hardcore dan greencore juga mendapat tempat tersendiri.

Nasyid pun tidak kalah penting. Di SMANSA 98, kelompok nasyid hadir sebagai bagian dari ekspresi keberagamaan remaja muslim. Mereka tampil di acara-acara sekolah, membawakan lagu yang sederhana. Dengan demikian, saya memandang kehidupan musik di SMANSA angkatan 98 adalah cerminan dari pergulatan generasi muda di Indonesia secara umum.

Sebagai bagian dari generasi itu, saya merasa beruntung dapat menyaksikan dan mengalami langsung bagaimana musik tidak hanya menjadi hiburan, melainkan juga menjadi identitas dan jalan pencarian makna. Musik klasik memberi saya perspektif tentang keindahan dan sejarah seni, sementara musik alternatif dan nasyid membuka mata saya tentang kegelisahan sosial dan spiritualitas yang berjalan beriringan.

Kini, ketika melihat kembali, saya menyadari bahwa musik 90-an adalah cermin dari zaman. Anak muda yang tumbuh kala itu belajar untuk memilih, memilah, dan membangun identitas dari apa yang mereka dengar. Bagi Alumni SMANSA 1998, musik telah menjadi bagian dari perjalanan hidup yang membentuk siapa mereka hari ini.

Dengan begitu, musik alternatif, grunge, dan nasyid pada akhirnya tidak hanya menjadi fenomena sesaat, tetapi juga warisan kultural yang membentuk cara pandang generasi X dan Y. Walaupun waktu telah berjalan, kenangan akan musik itu tetap melekat, dan setiap nada yang terngiang membawa kita kembali pada masa-masa ketika dunia remaja penuh gairah, pencarian, dan harapan.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Catatan #24: Dari Musik Alternatif sampai Nasyid"