Live Pukul 08.00 - 24.00 WIB.

Catatan #23: Klasifikasi Kenakalan Alumni SMANSA 98



Apakah semua anak manusia pernah melakukan kenakalan atau pernah dinakali? Pertanyaan semacam ini tentu menimbulkan ambivalensi. Di satu sisi, jika ada anak yang tidak pernah berbuat nakal, maka ungkapan bahwa manusia adalah tempatnya salah dan khilaf seolah tidak berlaku baginya.

Namun di sisi lain, jika ada anak-anak yang pernah berbuat nakal, hal ini bisa dianggap bertentangan dengan teori perkembangan manusia tentang tabularasa, setiap manusia lahir dalam keadaan bersih. Artinya, tabiat nakal mungkin memang sudah melekat dalam diri manusia sejak awal (nativisme), sehingga tidak bisa diganggu gugat.

Saya tidak bermaksud mengacak-acak pikiran pembaca. Agar tidak terlalu melebar, mari kita sederhanakan: setiap anak manusia pernah berbuat nakal, tentu dengan kadar dan ukurannya masing-masing. Kenakalan yang kecil bagi sebagian orang bisa dianggap besar oleh orang lain.

Misalnya, bagi seorang gembong atau bajingan tengik, merokok saat masih duduk di bangku SMA mungkin tidak dianggap nakal. Jika pun dianggap nakal, itu hanya seujung kuku dibandingkan kualitas dan kuantitas kenakalan para bajingan. Apalagi bila dibandingkan dengan para koruptor yang diam-diam menggerogoti sumber kehidupan bangsa, namun tetap tersenyum dan berpura-pura saleh di depan publik.

Saya dan teman-teman SMANSA angkatan 1998 pun tidak luput dari itu semua. Dengan beragam cita rasa, rupa, warna, tipikal pikiran, paradigma, latar belakang, serta pengalaman masing-masing, kami pun pernah mengalami berbagai bentuk kenakalan.

Agar lebih mudah memahami, saya mencoba mengklasifikasikan kenakalan itu sebagaimana Carl Linnaeus mengklasifikasikan tumbuhan dan hewan. Maka lahirlah hierarki kenakalan versi SMANSA 98.

Pertama adalah kenakalan ringan. Contohnya, kesiangan lalu terpaksa memanjat pagar beton belakang sekolah. Dampaknya hanya menimpa diri sendiri: celana atau rok bisa robek, kulit lecet, atau jika apes ketahuan guru, bisa digiring ke ruang BK. Ruangan itu mirip ruang interogasi di film-film India.

Kenakalan ringan lain adalah tidak mengikuti upacara bendera. Saat siswa lain berdiri tegak menahan panas di lapangan, ada anak-anak yang malah jongkok di belakang sekolah, asyik ngobrol, atau menyusun strategi agar tidak kepergok guru.

Karena tergolong ringan, cara menebusnya pun sederhana. Biasanya cukup dengan memperbaiki perilaku menjelang kelulusan, atau melakukan pendekatan personal dengan guru BK di luar jam pelajaran. Lama-kelamaan, kenakalan itu akan dimaafkan.

Kedua adalah kenakalan sedang. Kategori ini tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain. Biasanya dibumbui dengan kebohongan, intrik, atau sikap bunglon.

Contoh paling umum adalah merokok. Selain merugikan kesehatan, tindakan ini sering diiringi dengan manipulasi terhadap orang tua. Anak-anak yang merokok bisa saja tetap berlagak culun dan saleh di rumah, seolah-olah tidak pernah menyentuh rokok.

Ada pula yang menggunakan uang SPP atau iuran bulanan untuk membeli rokok, main biliar, atau malah bolos sekolah untuk piknik ria ke Capitol, Nasional, atau Shopping Center. Semua itu adalah bentuk kenakalan sedang yang kerap dilakukan secara diam-diam.

Kenakalan semacam ini juga terlihat di warung sekitar sekolah, terutama dekat masjid pinggir jalan. Anak-anak sering izin salat dzuhur, yang semestinya hanya lima sampai tujuh menit. Namun dalam praktiknya, waktu izin itu bisa molor menjadi satu jam, dari pukul 12.00 hingga 13.00.

Ketiga adalah kenakalan besar. Saya tidak menyebutnya dosa besar, tetapi level ini sudah merugikan diri sendiri, orang lain, bahkan menyentuh masalah karakter.

Contoh paling jelas adalah mencuri makanan di kantin, praktik darmaji, memalak teman, atau mengintimidasi adik kelas. Semua itu masuk kategori besar karena menuntut keberanian, strategi, bahkan membentuk tabiat buruk.

Menebus kesalahan kenakalan besar jelas lebih berat. Tidak cukup hanya dengan bertobat kepada Tuhan, tetapi juga harus meminta maaf langsung kepada orang yang dirugikan. Misalnya, penjaga kantin atau teman yang dipalak.

Selain tiga kategori utama itu, masih banyak jenis kenakalan lain yang pernah terjadi. Mulai dari nyontek, mengintip siswi di toilet, pura-pura atau izin sakit agar bisa pulang, hingga main basket di jam pelajaran.

Ada pula yang menjadikan masjid sebagai tempat pelarian saat ditegur guru karena terlambat, pura-pura saleh demi nilai tinggi, bahkan melakukan gratifikasi kecil-kecilan kepada guru. Semua itu adalah praktik nakal yang mewarnai masa SMA kami.

Kenakalan lain yang lebih usil juga tak terhitung, menyanyi keras di kelas saat guru absen, memukul pantat teman perempuan, mempergunjingkan guru, melempar celana teman ke taman sekolah, dan segudang tingkah konyol lainnya.

Semua kenakalan itu, jika direnungkan kembali, kini terasa seperti masa "penghakiman diri". Saat kami sudah berkeluarga dan memiliki anak, sering kali melihat tingkah anak-anak sendiri yang mirip dengan kenakalan kami dulu.

Jika bukan anak, mungkin murid bagi mereka yang menjadi guru. Atau bahkan hidup itu sendiri yang menghadirkan cermin dari masa lalu. Pada akhirnya, kita tidak bisa kembali ke masa SMA untuk memperbaiki semuanya.

Yang bisa dilakukan hanyalah menyadari bahwa apa yang kita alami hari ini adalah refleksi dari apa yang kita lakukan di masa lalu. Dan mungkin, dengan kesadaran itu, kita bisa menjadi lebih bijak dalam menyikapi kenakalan anak-anak generasi berikutnya.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Catatan #23: Klasifikasi Kenakalan Alumni SMANSA 98"