Live Pukul 08.00 - 24.00 WIB.

Catatan #22: Misteri Laboratorium Bahasa



Ada satu misteri yang tak kunjung terpecahkan sejak saya pertama kali menjadi siswa SMANSA pada tahun 1995 hingga hari ini. Entah karena saya yang tidak tahu, atau karena memang tidak pernah ada penuturan lebih lanjut dari para guru.

Padahal saya cukup sering datang kembali ke SMANSA setelah lulus, sekadar bersilaturahmi atau berdiskusi dengan para guru. Bagi saya, mereka bukan "mantan guru", karena tidak ada istilah mantan bagi guru.

Terutama kepada almarhum Pak Harun Al-Rasyid, guru Pendidikan Agama Islam yang sangat saya hormati. Kami kerap berdiskusi mendalam soal pemahaman Al-Qur'an kontemporer, kadang dengan nada yang rendah, kadang serius, hingga membahas sejarah awal diakritik pada kitab suci tersebut.

Dengan guru-guru lainnya, saya juga kerap berbincang, baik saat berkunjung ke sekolah atau secara kebetulan bertemu di jalan. Saya masih ingat, saat angkatan SMANSA 1998 baru duduk di kelas I, telah terjadi perubahan nomenklatur besar-besaran di dunia pendidikan Indonesia.

SMA berganti nama menjadi SMU (Sekolah Menengah Umum). Dua tahun kemudian, STM, SMEA, dan SMKK juga mengalami transformasi menjadi SMK. Sekolah Teknik (ST) di tingkat pertama pun akhirnya berubah total menjadi SMP.

Namun perubahan nama itu tak hanya formalitas administratif. Sistem pembelajaran juga berubah: dari semester menjadi caturwulan. Penjurusan yang dulu dilakukan di kelas dua, kini dipindahkan ke kelas akhir.

Beberapa jurusan bahkan hilang sama sekali. SMANSA, misalnya, menghapus jurusan Bahasa. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, karena di beberapa sekolah lain, jurusan tersebut masih ada.

Saya baru tahu belakangan, penyebabnya bukan semata-mata perubahan sistem, tetapi karena laboratorium bahasa SMANSA saat itu tidak memenuhi standar minimal, bahkan bisa dibilang tidak berfungsi sama sekali.

Ruang laboratorium bahasa kosong melompong. Tidak ada headset, tidak ada komputer. Hanya meja-meja lab yang masih tersisa. Saya bertanya-tanya, ke mana perginya seluruh peralatan itu?

Seorang guru pernah menyebut bahwa peralatan laboratorium bahasa itu hilang karena dicuri. Konon, ada maling yang begitu lihai membobol ruangan dan membawa lari semua sarana tanpa sisa.

Saya tertegun, membayangkan bagaimana pencurian itu bisa terjadi di lingkungan sekolah yang dikelilingi pemukiman penduduk, dengan penjaga yang selalu ada, dan suasana malam yang sunyi hingga suara kucing mengeong pun bisa terdengar jelas.

Benar-benar hebat maling itu, pikir saya. Bagaimana mereka memindahkan puluhan komputer? Bagaimana bisa tidak ada kegaduhan? Di mana para penjaga? Apakah benar-benar tidak ada yang menyadari pencurian dalam skala sebesar itu?

Saat itu memang belum ada kamera CCTV, tapi dengan kepekaan suara di lingkungan SMANSA, suara langkah dengan nada rendah pun seharusnya bisa terdeteksi.

Saya berusaha menepis berbagai pertanyaan itu dari kepala saya. Pada akhirnya, kami angkatan 1998 tetap harus menerima kenyataan hanya ada dua jurusan yang bisa kami pilih: IPA dan IPS. Jurusan Bahasa telah dihapus, dan seakan tak pernah ada.

Tapi rasa ingin tahu itu tetap membekas hingga sekarang. Mungkin hanya saya yang tidak tahu. Mungkin misteri itu memang harus saya dibiarkan terkubur begitu saja.

Kini saya sadar, jika hal seperti itu terjadi di masa sekarang, sebuah laboratorium sekolah hilang total karena pencurian, mungkin akan lebih mudah ditelusuri pelakunya. Namun kenyataannya tidak selalu begitu. Beberapa waktu lalu, saya mendengar kabar tentang sebuah Madrasah Tsanawiyah yang juga kehilangan seluruh perangkat laboratoriumnya akibat dibobol maling. Dan hingga hari ini, pelakunya belum juga ditemukan.

Rupanya, praktik pencurian sarana pendidikan ini bukan hanya cerita masa lalu, tetapi masih berlangsung dan tetap terjadi hingga sekarang. Perbedaannya hanya terletak dari cara mencuri dan para pelakunya. Saya juga tidak perlu menyewa Sherlock Holmes untuk mengurai akhir kisah ini, atau tidak perlu juga memanggil Agatha Christie agar masuk ke dalam novel 13 kasus.

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Catatan #22: Misteri Laboratorium Bahasa"