Live Pukul 08.00 - 24.00 WIB.

Catatan #21: Tahun Kedua di SMANSA



Banyak yang bertutur, saat seseorang duduk di kelas dua SLTA, sekitar usia 16 hingga 17 tahun, itulah masa di mana seseorang mulai benar-benar memasuki fase remaja. Masa transisi yang tidak sederhana; perpindahan dari dunia kanak-kanak ke sesuatu yang lebih dewasa, meski tetap saja dalam kategori hukum dan sosial, usia ini masih dianggap "di bawah umur".

Walakin, gejolak di dalam tubuh dan jiwa mereka berkata lain. Anak-anak usia ini sering merasa lebih dewasa dari kenyataan, merasa lebih bijak dari adik-adik mereka, meskipun di banyak kesempatan mereka masih menunjukkan perilaku manja dan labil. Terutama mereka yang tumbuh di lingkungan urban perkotaan.

Saya tidak bermaksud menyentil anak-anak perkotaan secara spesifik. Tapi dari pengalaman hidup yang saya jalani dan mungkin ini terdengar seperti kisah dari berbagai “peradaban”, ada satu kesimpulan sederhana yang sering saya temukan: meskipun bersifat stereotif, rata-rata anak-anak kota cenderung tumbuh lebih manja dibandingkan dengan anak-anak perdesaan.

Mereka yang tumbuh di wilayah rural, harus bergulat langsung dengan alam: air, tanah, udara, dan berbagai elemen lingkungan lainnya yang membentuk daya tahan tubuh dan mental mereka secara alami. Anak-anak kampung, saat itu, ketika menempuh pendidikan di SMANSA, membawa serta corak hidup khas pedesaan yang apa adanya.

Kehadiran mereka di lingkungan urban seperti SMANSA ibarat pertemuan dua kehidupan; dunia yang tumbuh dari akar tanah dengan dunia yang tumbuh dari aspal. Tak sedikit dari kami, anak kampung yang perlahan menyesuaikan diri dengan kultur semi-urban.

Ada proses adaptasi yang kadang terasa ganjil. Di sekolah, kami belajar memakai bahasa yang lebih "ngota", lebih kontemporer, agar tak dianggap “kampungan”. Tapi saat pulang ke rumah, kami kembali ke sistem nilai lama yang penuh sopan santun dan tepa salira warisan dari orang tua dan kakek-nenek kami. Kami hidup dalam dua sistem sosial yang kadang berlawanan arah. Tapi begitulah perjalanan menjadi remaja; mengembara di antara dua dunia.

Saya sering merasa, di masa kelas dua itulah kami mulai benar-benar “hidup”. Hormon-hormon yang sebelumnya tersembunyi kini muncul ke permukaan dengan kekuatan yang mengejutkan. Tiba-tiba ada keberanian, dorongan untuk menentang, ingin mencoba hal-hal baru.

Sikap ketergantungan perlahan tergantikan oleh insting yang lebih liar: keberanian menjelajah, ingin menang sendiri, mudah tersulut, sekaligus ingin diakui (mencari eksistensi). Mungkin memang benar, di masa itu, yang muncul dalam diri remaja adalah cetak biru paling dasar dari nenek moyang manusia: naluri nomaden, insting bertahan hidup, dorongan petualangan, dan reaksi otak reptil yang siap siaga terhadap ancaman.

Semua itu seperti ledakan kecil dalam tubuh anak-anak kelas dua, dalam diam mereka bergulat dengan identitas, pencarian arah hidup, dan eksperimen sosial. Tak selalu disadari, tetapi begitu terasa bagi mereka yang jeli mengamati. Kami tumbuh di antara ruang-ruang yang riuh, lorong kelas yang penuh gosip dan ambisi kecil, serta halaman belakang yang sering menjadi saksi percakapan serius maupun canda lepas.

Dan saya masih ingat, betapa masa itu bukan sekadar belajar dari buku, melainkan belajar memahami diri sendiri dan orang lain. Masa yang tidak akan terulang, masa ketika kami belum sepenuhnya dewasa, tapi tidak lagi sebagai anak-anak.

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Catatan #21: Tahun Kedua di SMANSA"