
Tidak seluruhnya cinta di masa SMA dapat dikatakan sebagai cinta monyet atau cinta sesaat. Meskipun sebagian besar memang demikian, ada beberapa kisah yang membuktikan sebaliknya. Beberapa teman seangkatan bahkan telah menjalin kasih sayang sejak duduk di bangku kelas 1, dan berlanjut ke jenjang pernikahan. Kini mereka telah hidup berumah tangga dan dikaruniai beberapa orang anak. Namun, dari ratusan siswa saat itu, jumlah pasangan yang berjodoh dan menikah satu angkatan dapat dihitung dengan jari tangan saja.
Artinya, mendekat sekitar 99% dari seluruh siswa angkatan 1998 akhirnya menikah dengan orang di luar lingkungan alumni, atau setidaknya bukan satu angkatan. Ini memperlihatkan bahwa meski masa SMA dipenuhi percikan asmara, tidak banyak yang berujung pada hubungan jangka panjang. Kebanyakan cinta yang tumbuh pada masa itu tidak berlanjut ke fase yang lebih serius, melainkan berhenti di tengah jalan, menyisakan kenangan remaja yang manis, lucu, atau bahkan getir.
Banyak orang memandang bahwa masa remaja merupakan masa krusial penentuan masa depan, namun dalam kenyataannya, masa ini lebih didominasi oleh kata “cinta”. Di usia ini, remaja mulai mengenal istilah sweet seventeen. Meskipun sebenarnya mereka telah melewati usia akil baligh, justru pada usia sekitar 17 tahun, kelas dua atau tiga SMA, remaja mendapat julukan “usia manis”. Ini adalah masa di mana gairah cinta tumbuh, mekar, dan membentuk berbagai kisah, baik dalam kenyataan maupun dalam karya seni seperti film dan novel.
Dominasi cinta dan kasih sayang pada usia SMA telah menjadi latar dari berbagai skenario film dan alur roman picisan. Kang Eddy D. Iskandar pernah menulis novel legendaris Gita Cinta dari SMA yang diangkat ke layar lebar dan mengisahkan idealisme cinta remaja antara Galih dan Ratna. Pada masa ini, cinta tidak mengenal batas; ia datang untuk mengoyak perbedaan, tanpa peduli status sosial, kekayaan, atau bahkan ideologi. Cinta dianggap murni dan layak diperjuangkan meskipun penuh risiko.
Namun, bagi siswa SMANSA angkatan 1998 yang umumnya berlatar belakang perdesaan, meskipun tinggal di kota, cara pandang terhadap cinta tetap dipengaruhi oleh nilai-nilai lama. Kebanyakan orangtua mereka berasal dari desa, atau merupakan hasil percampuran antara keluarga urban dan rural. Pola pikir cinta yang mereka warisi cenderung konservatif, mengikuti tradisi orangtua sebagai generasi baby boomers, yang lebih mengedepankan norma agama dan susila daripada ekspresi perasaan bebas seperti dalam film atau novel.
Dengan latar seperti itu, tidak heran jika hubungan kasih antara sesama pelajar jumlahnya tidak lebih banyak dari mereka yang memilih menahan perasaan. Banyak yang menjadi pemuja rahasia, pura-pura tidak peduli, atau bahkan memilih jalan sebagai jomblo sejati. Ada pula yang fokus belajar, patuh pada nasihat orangtua, tidak cukup berani mengungkapkan cinta, atau terhalang oleh preferensi keyakinan yang mengharuskan menjaga jarak dengan lawan jenis.
Pada dasarnya, semua manusia, bahkan sejak kecil, telah dipengaruhi oleh dorongan dan hasrat dasar. Dalam pandangan psikoanalisa Freud, dorongan seksual atau libido merupakan struktur utama kepribadian manusia. Ini dianggap sebagai bagian dari insting kehidupan, naluri dasar yang disebut sebagai Eros. Freud meyakini bahwa seksualitas adalah pusat dari dinamika psikologis manusia, dan karena itu, sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku sejak usia dini.
Namun, pandangan Freud seperti itu tentu saja akan mendapat tantangan dari masyarakat perdesaan, yang masih memegang norma dan etika leluhur. Di wilayah yang menempatkan kesusilaan sebagai nilai utama, seksualitas dianggap tabu dan tidak pantas diperbincangkan secara terbuka, apalagi di ruang publik. Maka muncullah benturan antara pandangan modern tentang cinta dan libido dengan kebudayaan lokal yang penuh aturan dan batas.
Menariknya, antara konsep Freud tentang libido dan norma susila leluhur, sebenarnya terdapat benang merah yang menyatukan. Keduanya sama-sama mengakui bahwa cinta, asmara, dan hasrat memang merupakan naluri yang tertanam dalam diri manusia. Ketika hasrat itu disalurkan di waktu yang tidak tepat atau kepada orang yang salah, ia dapat berubah menjadi luka dan penderitaan. Seperti halnya kisah mitologi Eros dan Psyche, di mana Eros merasa dikhianati karena Psyche melanggar kepercayaan dengan menatap wajahnya secara diam-diam.
Dari cerita tersebut, kita bisa belajar bahwa sebesar apapun cinta yang kita pendam, terlebih bila sudah memiliki pasangan dan keluarga, sebaiknya ditahan dan tidak diungkapkan, sekalipun hanya diam-diam. Sebab cinta yang tidak pada tempatnya hanya akan melukai, baik diri sendiri maupun orang lain. Masa SMA hanyalah satu bab dalam kisah panjang hidup kita, dan cinta yang lahir di masa itu, meskipun indah, belum tentu berakhir di pelaminan.
Posting Komentar untuk "Catatan #20: Gita Cinta dari SMA, Kisah Eros dan Psyche"